Antara Aku, Kau dan Sahabatku

Antara Aku, Kau dan Sahabatku

Minggu, 29 November 2015

karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan



A.    Karakteristik Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja

Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi Suatu periode yang sangat penting Dalam Pembentukan nilai (Harrocks, 1976; Adi, 1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan pengembangan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono, 1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri.
            Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terkait pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi jugapada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa, 1988). Perkembanagan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung-jawabkannya secara pribadi (Monks, 1989). Perkembanagan pemikiran moral remaja yang demikina, jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahapan konvensional. Pada akhir masa remaja seseorang akan memasuki tahapan perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional ketika orinalitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak terganung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat konvesional.
            Tingkat perkembangan fisik dan psikisn yang dicapai remaja yang berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya (Gunarsa, 1989). Apabila kalau orang tua atau orang dewasa berusaha memaksa nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditumjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai unjuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri.

B.     Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
Menurut Spranger, Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia itu terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah ”roh subjektif” (subjective spirit). Sementara itu, kekuatan nilai-nilai budaya merupakan ”roh objektif” (objective spirit). Dalam kacamata Spranger, kekuatan individual atau roh subjektif didudukkan dalam posisi primer karena nilai-nilai budaya hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh individu. Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis, yaitu:
1. Nilai Teori/Nilai Keilmuan (I): Dasar Pertimbangan Rasional, kontras dengan nilai (A)
2. Nilai Ekonomi (E) Dasar Pertimbangan Ada Tidaknya Keuntungan finansial, kontras dengan nilai (S)
3.Nilai Sosial/Nilai Solidaritas (Sd) dasar pertimbangan tidak menghiraukan keberuntungan/ketidakberuntungan, kontras dengan nilai (K)
4. Nilai Agama (A) dasar pertimbangan benar menurut ajaran agama, kontras dengan nilai (I)
5. Nilai Seni (S) dasar pertimbangan rasa keindahan/rasa seni terlepas dari pertimbangan material, kontras dengan nilai (E)
6. Nilai Politik/Nilai Kuasa (K) dasar pertimbangan kepentingan diri/kelompok, kontgras dengan nilai (Sd) (Mohammad Asrori, 2008:153-154)
Sementara itu, istilah Moral berasal dari berasal dari kata latin “Mos, Moris dan Mores”, yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi/kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral/aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang. (Mohammad Asrori, 2008:155) dan (Yusuf : 2007 : 132)
Moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1956 : 957). Dalam moral didiatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, larangan berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan meminum khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau tidak boleh disebut moral.
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Sedangkan Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah predisposisi (kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari, mendireksi dan mempengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam kata-kata/tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi dan lain sebagainya.
 Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam ”Dictionary of Psychology” menyamakan sikap dengan pendirian. Menurutnya Sikap yaitu predisposisi/kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku/bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap oranglain, objek, lembaga/persoalan tertentu. Sehingga Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Sedang Stephen R. Covey (1989) mengemukakan tiga teori determinisme (faktor yang menentukan) yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia,yaitu:
a. Determinisme Genetis (genetic determinism) sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya
b. Determinisme Psikis (psychic determinism) sikap individu merupakan hasil dari perlakuan, pola asuh/pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya
c. Determinisme lingkungan (environmental determinism) perkembanagn sikap seseorang itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut (Mohammad Asrori, 2008:159-161)
C.    Perkembangan Moralitas
            Moralitas dapat didefinisikan sebagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut. Dalam definisi ini, individu yang matang secara moral tidak membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak mengharapkan hadiah atau hukuman yang berwujud ketika memenuhi atau tidak memenudi standar moral. Mereka menginternalisasi prinsip moral yang mereka pelajari dan memenuhi gagasannya, walaupun tidak ada tokoh otoritas yang hadir untuk menyaksikan atau mendorong mereka.
            Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponenafektif, kognitif, dan perilaku. Komponen afektif atau emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan (seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran atau tindakan moral. Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau melanggar aturan moral lainnya.
            Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Hadist menyatakan:
Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda “Malu itu pertanda dari iman.” (HR Buhari dan Muslim)
Malu dikatakan sebagai sebagian dari iman karena rasa malu dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral.
            Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang ditunjukkan seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar atau yang salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh
Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang benar seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.


http://www.surah.my/images/s090/a011.png


1.      Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral
            Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagiaan struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek psikologis, yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Sedangkan superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar dan salahya sesuatu.
2.      Teori Belajar-Sosial tentang Perkembangan Moral
            Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.
3.      Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
            Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Berdasarkan  hasil observasinya  tahapan aturan-aturan permainan yang digunakan anak-anak, piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas dua tahap, yaitu:
1.      Tahap Heterononous Morality
            Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9 tahun. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan yang dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.
2.      Tahap Autonomous Morality
            Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman merupakan ciptaan manusia dan dalam penerapan suatu hukuman atau suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.
3.      Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral
            Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui disertasinya yang sangat monumental yang berjudul The Development of Mades of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 16  yang diselesaikannya di University of Chicago pada tahun 1958, dia melakukan penelitian empiris lintas kelompok usia tentang cara pertimbangan moral terhadap 75 orang anak dan remaja yang berasal dari daerah sekitar Chicago. Anak-anak dibagi ke dalam tiga kelompok usia, yaitu kelompok usia 10, 13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan denagn cara menghadapkakn para subjek penelitia/responden kepada berbagai dilema moral, di mana mereka harus memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan beraturan dan selanjutnya mencatat semua reaksi mereka. Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan pelumas, modifikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Hal penting dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata.
Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a)         Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif.
b)         Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c)         Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman untuk menentukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Moralitas pada hakitatnya adalah penyelesaian konflik antara dirinya dan orang lain, antara hak dan kewajiban (Setiono, 1994).




      D.     Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

Agama dari sisi etimologi berasal dari bahasa Yunani ”a” yang berarti tidak dan ”gama” yang bermakna kacau balau, carut marut, tak teratur. Sehingga agama ialah suatu tatanan yang berfungsi memberikan keteraturan. Sementara dari sisi terminologi, menurut Hendropuspito (1983) dalam bukunya Sosiologi Agama, menerangkan bahwa Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. Sehingga unsur-unsur Agama memuat:
a. Agama disebut jenis sistem sosial. Menjelaskan bahwa agama adalah fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu
b. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris . hal ini menyatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-”huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi
c. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di ”dunia lain” yang dimasuki manusia setelah kematian.
Thomas F.O Dea mendefinisikan agama sebagai pendayagunaan sarana-sarana supra empiris untukmaksud-maksud non empiris atau supra empiris. Sementara itu, J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan Dunlop melihat agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi lainnya gagal tak berdaya.
Sedangkanaspek agama menurut Joachim Wach ada tiga, yakni: pertama unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, kedua unsur praktisnya ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologisnya bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. (Hendropuspito, 1983: 34-35)
Sementara itu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan definisinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetrahuan dan membentuk sikap kepribadian dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya. Sedangkan Ayat 2 Pendidikan Keagamaan ialah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.

      E.     Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan
Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri individu yang dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu sistem tertentu. Pertimbangan nilai adalah penilaian individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek yang lebih mendasarkan pada sistem nilai tertentu daripada hanya sekedar karakteristik objek tersebut. Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu lain/kelompok/masyarakat. Moralitas merupakan pencerminan dari nilai-nilai dan idealitas seseorang. Dalam moralitas terkandung aspek-aspek kognitif, afektif dan perilaku, sedangkan sikap merupakan predisposisi tingkah laku/kecenderungan bertingkah laku yang sebenarnya, juga merupakan ekspresi/manifestasi dari pandangan individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek. Sikapmerupakan sistem yang bersifat menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi.
Perubahan pengetahuan individu tentang objek/sekumpulan objek (sistem/konsep nilai, moral, sikap dan agama) akan menimbulkan perubahan perasaan individu yang bersangkutan mengenai objek/sekumpulan objek tersebut dan selanjutnya akan mempengaruhi kecenderungannya untuk bertindak terhadap objek/sekumpulan objek tersebut. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama.
Dengan demikian, dapat ditarik konklusi bahwa nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi/kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek/sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki, individu akan menentukan prilaku mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindarkan. Ini akan tampak dalam sikap dan prilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya. Sedangkan Keagamaan merupakan fundamen dan spirit bagi lahirnya sistem dan konsep nilai, moral dan sikap yang dimiliki individu yang termanifes dalam prilaku individu terkait, dalam kehidupan sehari-harinya. (Mohammad Asrori, 2008:162)

 F .    Konsep Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Konsep perkembangan moral dapat kita cermati dari buah pikiran Piaget dan Norman J.Bull. Jean Piaget adalah wakil Direktur Institute of Educational Sciences dan Professsor Psikologi Eksperimental di University of Geneve. Piaget secara intensif telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap “Perkembangan Struktur Kognitif (Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral (Moral Judgement). Piaget dan Norman J. Bull berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil, apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan moral anak. Dengan kata lain kedua ahli ini mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Piaget mendefinisikan tahap perkembangan moral sebagai berikut: (1) Pre-moral yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan dan harus menaati kekuasaan. (3) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada peraturan. Adapun Norman J. Bull (I969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral itu adalah: (1) Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.(3) Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok. (4) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Dalam perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan dari pada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia tujuh atau delapan tahun anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar, anak belum memiliki pengertian dan motivasi untak konsisten. Pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan menghubungkannya dengan pelaksanaannya. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.


G.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak.
Nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaan adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam interaksinya dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaannya. Dalam konteks ini, lingkungan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan relegius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji. Sebaliknya, individu yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi psikologis yang penuh konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter dan permisif, dan kurang relegius, maka harapan agar anak dan remaja berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji menjadi diragukan. (Mohammad Asrori, 2008:164-165)































BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Moral berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan, sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral. Moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama.
2. Antara Konsep dan Aplikasi Nilai, Moral, Sikap dan Perilaku Keagamaan memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain. Masing-masing saling melengkapi dan merupakan rangkaian tak terpisahkan/sesuatu yang integral baik yang Esoteris-Psikologis (Nilai, Moral) maupun Eksoteris-Fisiologis (Sikap dan Perilaku Keagamaan) yang membentuk personality (kepribadian) seseorang



DAFTAR PUSTAKA

Asrori, Ali. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Bumi Aksara
Hasan. 2008. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Mulyani. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka
Yusup. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar