A. Karakteristik Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan
berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya
maka masa remaja menjadi Suatu periode yang sangat penting Dalam Pembentukan
nilai (Harrocks, 1976; Adi, 1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja
sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat
merasakan pentingnya tata nilai dan pengembangan nilai-nilai baru yang sangat
diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya
sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang
(Sarwono, 1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara
identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja
berusaha mengembangkannya sendiri.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai
dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir
operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan
masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu
permasalahan tidak lagi hanya terkait pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi
jugapada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa, 1988).
Perkembanagan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran
akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya
sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung-jawabkannya
secara pribadi (Monks, 1989). Perkembanagan pemikiran moral remaja yang
demikina, jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai
tahapan konvensional. Pada akhir masa remaja seseorang akan memasuki tahapan
perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional ketika
orinalitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja
berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak terganung lagi pada pendapat
atau pranata yang bersifat konvesional.
Tingkat perkembangan fisik dan psikisn yang dicapai remaja yang berpengaruh
pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan
ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang
nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya (Gunarsa, 1989).
Apabila kalau orang tua atau orang dewasa berusaha memaksa nilai-nilai yang
dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang
ditumjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai unjuk
kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas.
Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah
serta berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
B. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
Menurut Spranger, Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang
dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif
keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian
manusia itu terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan.
Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian
manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan
istilah ”roh subjektif” (subjective spirit). Sementara itu, kekuatan
nilai-nilai budaya merupakan ”roh objektif” (objective spirit). Dalam kacamata
Spranger, kekuatan individual atau roh subjektif didudukkan dalam posisi primer
karena nilai-nilai budaya hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung
dan dihayati oleh individu. Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis,
yaitu:
1.
Nilai Teori/Nilai Keilmuan (I): Dasar Pertimbangan Rasional, kontras dengan
nilai (A)
2.
Nilai Ekonomi (E) Dasar Pertimbangan Ada Tidaknya Keuntungan finansial, kontras
dengan nilai (S)
3.Nilai
Sosial/Nilai Solidaritas (Sd) dasar pertimbangan tidak menghiraukan
keberuntungan/ketidakberuntungan, kontras dengan nilai (K)
4.
Nilai Agama (A) dasar pertimbangan benar menurut ajaran agama, kontras dengan
nilai (I)
5.
Nilai Seni (S) dasar pertimbangan rasa keindahan/rasa seni terlepas dari
pertimbangan material, kontras dengan nilai (E)
6.
Nilai Politik/Nilai Kuasa (K) dasar pertimbangan kepentingan diri/kelompok,
kontgras dengan nilai (Sd) (Mohammad Asrori, 2008:153-154)
Sementara itu, istilah Moral berasal dari berasal dari kata
latin “Mos, Moris dan Mores”, yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/nilai-nilai atau tatacara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya
merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus
dipatuhi/kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam
hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan
prinsip-prinsip moral/aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam
kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang. (Mohammad
Asrori, 2008:155) dan (Yusuf : 2007 : 132)
Moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan
dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1956 : 957).
Dalam moral didiatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan,
dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral
berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan
perbuatan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah
laku.
Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik
kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan
dan memelihara hak orang lain, larangan berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan
meminum khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral
keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh,
harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau
tidak boleh disebut moral.
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui
interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan,
pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan
akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula
mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Sedangkan Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah predisposisi
(kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten
terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari,
mendireksi dan mempengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam
kata-kata/tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi
dan lain sebagainya.
Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam
”Dictionary of Psychology” menyamakan sikap dengan pendirian. Menurutnya Sikap
yaitu predisposisi/kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung
terus-menerus untuk bertingkah laku/bereaksi dengan suatu cara tertentu
terhadap oranglain, objek, lembaga/persoalan tertentu. Sehingga Sikap merupakan
predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara
positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi.
Sedang Stephen R. Covey (1989) mengemukakan tiga teori determinisme (faktor
yang menentukan) yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun
kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia,yaitu:
a. Determinisme Genetis (genetic determinism) sikap individu
diturunkan oleh sikap kakek-neneknya
b.
Determinisme Psikis (psychic determinism) sikap individu merupakan hasil dari
perlakuan, pola asuh/pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya
c. Determinisme lingkungan (environmental determinism) perkembanagn
sikap seseorang itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tinggal
dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut (Mohammad Asrori,
2008:159-161)
C. Perkembangan Moralitas
Moralitas dapat didefinisikan sebagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat
dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah,
bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika
melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar
tersebut. Dalam definisi ini, individu yang matang secara moral tidak
membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak mengharapkan
hadiah atau hukuman yang berwujud ketika memenuhi atau tidak memenudi standar
moral. Mereka menginternalisasi prinsip moral yang mereka pelajari dan memenuhi
gagasannya, walaupun tidak ada tokoh otoritas yang hadir untuk menyaksikan atau
mendorong mereka.
Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponenafektif, kognitif, dan
perilaku. Komponen afektif atau emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan
(seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain,
dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi
pemikiran atau tindakan moral. Komponen kognitif merupakan pusat di mana
seseorang melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat keputusan
tentang bagaimana seseorang berperilaku. Komponen perilaku mencerminkan
bagaimana seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong,
curang, atau melanggar aturan moral lainnya.
Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis perasaan
yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Islam mengajarkan pentingnya rasa
malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting.
Hadist menyatakan:
Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda “Malu itu pertanda dari iman.” (HR Buhari dan Muslim)
Malu dikatakan sebagai sebagian dari iman karena rasa malu
dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral.
Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang
ditunjukkan seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar atau yang
salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia dua
jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih
jalan mana yang ia akan tempuh
Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan
tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana
mereka harus melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan
yang benar seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
![]() |
1. Teori Psikoanalisa tentang
Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagiaan
struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah
struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak
disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek psikologis,
yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki
moralitas. Sedangkan superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas
aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar
memperhitungkan benar dan salahya sesuatu.
2. Teori Belajar-Sosial
tentang Perkembangan Moral
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus.
Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan digunakan
untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.
3. Teori Kognitif Piaget
tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip
dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam
teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget perkembangan moral
digambarkan melalui aturan permainan. Berdasarkan hasil
observasinya tahapan aturan-aturan permainan yang digunakan anak-anak,
piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan
atas dua tahap, yaitu:
1. Tahap Heterononous Morality
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9
tahun. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep bahwa
bila suatu aturan yang dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.
2. Tahap Autonomous Morality
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9 hingga 12
tahun. Anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman merupakan
ciptaan manusia dan dalam penerapan suatu hukuman atau suatu tindakan harus
mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.
3. Teori Kohlberg tentang
Perkembangan Moral
Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral
adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui disertasinya yang sangat monumental
yang berjudul The Development of Mades of Moral Thinking and Choice in the
Years 10 to 16 yang diselesaikannya di University of Chicago pada tahun
1958, dia melakukan penelitian empiris lintas kelompok usia tentang cara
pertimbangan moral terhadap 75 orang anak dan remaja yang berasal dari daerah
sekitar Chicago. Anak-anak dibagi ke dalam tiga kelompok usia, yaitu kelompok
usia 10, 13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan denagn cara menghadapkakn
para subjek penelitia/responden kepada berbagai dilema moral, di mana mereka
harus memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup
dengan cara yang bertentangan dengan beraturan dan selanjutnya mencatat semua
reaksi mereka. Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan pelumas,
modifikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Hal penting dari teori perkembangan
moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada
dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan
nyata.
Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik
sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a) Penilaian
dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah
soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif
terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat
aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan
segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap
sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif.
b) Terdapat
sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus
diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan moralnya.
c)
Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun
telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja,
terutama sebagai pedoman untuk menentukan identitas dirinya, mengembangkan
hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang
selalu terjadi dalam masa transisi. Moralitas pada hakitatnya adalah penyelesaian
konflik antara dirinya dan orang lain, antara hak dan kewajiban (Setiono,
1994).
D. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Agama dari sisi etimologi berasal
dari bahasa Yunani ”a” yang berarti tidak dan ”gama” yang bermakna kacau balau,
carut marut, tak teratur. Sehingga agama ialah suatu tatanan yang berfungsi
memberikan keteraturan. Sementara dari sisi terminologi, menurut Hendropuspito
(1983) dalam bukunya Sosiologi Agama, menerangkan bahwa Agama ialah suatu jenis
sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada
kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk
mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. Sehingga
unsur-unsur Agama memuat:
a. Agama disebut jenis sistem sosial. Menjelaskan bahwa
agama adalah fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem
sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan
peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu
b.
Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris . hal ini menyatakan bahwa
agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang
di-”huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan manusia dan
yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi
c.
Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri
dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah
keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di ”dunia lain” yang
dimasuki manusia setelah kematian.
Thomas F.O Dea mendefinisikan agama sebagai pendayagunaan
sarana-sarana supra empiris untukmaksud-maksud non empiris atau supra empiris.
Sementara itu, J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan
praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga
menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan Dunlop melihat agama
sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi lainnya
gagal tak berdaya.
Sedangkanaspek agama menurut Joachim Wach ada tiga, yakni:
pertama unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, kedua
unsur praktisnya ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya.
Ketiga aspek sosiologisnya bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan
interaksi sosial. (Hendropuspito, 1983: 34-35)
Sementara itu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
definisinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55
tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Ayat 1 Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetrahuan dan
membentuk sikap kepribadian dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan
ajaran agamanya. Sedangkan Ayat 2 Pendidikan Keagamaan ialah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut
penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu agama dan
mengamalkan ajaran agamanya.
E. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan
Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri
individu yang dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu sistem tertentu.
Pertimbangan nilai adalah penilaian individu terhadap suatu objek/sekumpulan
objek yang lebih mendasarkan pada sistem nilai tertentu daripada hanya sekedar
karakteristik objek tersebut. Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat
nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu
lain/kelompok/masyarakat. Moralitas merupakan pencerminan dari nilai-nilai dan
idealitas seseorang. Dalam moralitas terkandung aspek-aspek kognitif, afektif
dan perilaku, sedangkan sikap merupakan predisposisi tingkah laku/kecenderungan
bertingkah laku yang sebenarnya, juga merupakan ekspresi/manifestasi dari
pandangan individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek. Sikapmerupakan sistem
yang bersifat menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi.
Perubahan pengetahuan individu
tentang objek/sekumpulan objek (sistem/konsep nilai, moral, sikap dan agama)
akan menimbulkan perubahan perasaan individu yang bersangkutan mengenai
objek/sekumpulan objek tersebut dan selanjutnya akan mempengaruhi
kecenderungannya untuk bertindak terhadap objek/sekumpulan objek tersebut.
Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik nilai, moral,
sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap dalam
ajaran agama.
Dengan demikian, dapat ditarik
konklusi bahwa nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan
sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari,
sedangkan sikap merupakan predisposisi/kecenderungan individu untuk merespon
terhadap suatu objek/sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan
moral yang ada dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan
nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu
sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang
dimiliki, individu akan menentukan prilaku mana yang harus dilakukan dan mana
yang harus dihindarkan. Ini akan tampak dalam sikap dan prilaku nyata sebagai
perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya. Sedangkan Keagamaan
merupakan fundamen dan spirit bagi lahirnya sistem dan konsep nilai, moral dan
sikap yang dimiliki individu yang termanifes dalam prilaku individu terkait,
dalam kehidupan sehari-harinya. (Mohammad Asrori, 2008:162)
F
.
Konsep
Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Konsep perkembangan moral dapat kita
cermati dari buah pikiran Piaget dan Norman J.Bull. Jean Piaget adalah wakil
Direktur Institute of Educational Sciences dan Professsor Psikologi
Eksperimental di University of Geneve. Piaget secara intensif telah melakukan
penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap “Perkembangan Struktur Kognitif
(Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral (Moral Judgement). Piaget dan
Norman J. Bull berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil, apabila
pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan moral anak. Dengan
kata lain kedua ahli ini mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang
disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Piaget mendefinisikan
tahap perkembangan moral sebagai berikut: (1) Pre-moral yaitu anak tidak merasa
wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang
benar adalah patuh pada peraturan dan harus menaati kekuasaan. (3) Autonomi
yaitu anak telah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada
peraturan. Adapun Norman J. Bull (I969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan
moral itu adalah: (1) Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati
peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh
kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.(3) Sosionomi yaitu anak
merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan
peraturan kelompok. (4) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi
ketaatannya pada peraturan.
Dalam perkembangan moral itu titik
heterotomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan dari pada
totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya
mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia tujuh atau delapan tahun anak
dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar, anak
belum memiliki pengertian dan motivasi untak konsisten. Pada tahap autonomi
anak menyadari akan aturan dan menghubungkannya dengan pelaksanaannya. Tahap
berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak.
Nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaan adalah
aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara
aktivitas internal dengan pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang
anak belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu
atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya.
Selanjutnya, dalam interaksinya dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai
berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral dan sikap serta perilaku
keagamaannya. Dalam konteks ini, lingkungan merupakan faktor yang besar
pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan
individu.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan
nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek
psikologis, sosial, budaya dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam
lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola
interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan
nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu yang tumbuh dan berkembang
di dalamnya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang di
dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara
psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan relegius
dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai luhur, moralitas
tinggi, serta sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji. Sebaliknya, individu
yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi psikologis yang penuh konflik, pola
interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter dan permisif, dan
kurang relegius, maka harapan agar anak dan remaja berkembang menjadi individu
yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan perilaku keagamaan
yang terpuji menjadi diragukan. (Mohammad Asrori, 2008:164-165)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian diatas penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1.
Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu
untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu.
Moral berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara
kehidupan, sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral. Moral merupakan kendali
dalam bertingkah laku. Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap
orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk
melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Keagamaan ialah segala sesuatu yang
berkaitan dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang
dilandasi nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama.
2.
Antara Konsep dan Aplikasi Nilai, Moral, Sikap dan Perilaku Keagamaan memiliki
keterikatan antara satu dengan yang lain. Masing-masing saling melengkapi dan
merupakan rangkaian tak terpisahkan/sesuatu yang integral baik yang
Esoteris-Psikologis (Nilai, Moral) maupun Eksoteris-Fisiologis (Sikap dan
Perilaku Keagamaan) yang membentuk personality (kepribadian) seseorang
DAFTAR PUSTAKA
Asrori, Ali. 2006. Psikologi Remaja.
Jakarta: PT Bumi Aksara
Hasan. 2008. Psikologi Perkembangan
Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Mulyani. 2009. Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: Universitas Terbuka
Yusup. 2011. Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar